Panganpedia – Berapa dari kita yang suka membeli produk hanya dari testimoninya? Sebut saja produk jamu X yang mengklaim dapat menyembuhkan kanker, atau produk obat-obatan alternatif dengan klaim berlebihan, seperti mengobati stroke, penyakit jantung, hipertensi, dan lain sebagainya. Trennya sama: mereka berlomba-lomba membranding produk dengan “melampirkan” testimoni para konsumennya.

Dalam hal dunia online marketing, punya banyak testimoni bagus tentu sebanding dengan penghasilan yang didapatkan. Tujuannya simpel, karena masyarakat kita sangat suka dengan produk yang diklaim recommended oleh orang lain.

-iklan inline ya-

Testimoni Saja Tidak Cukup

Hmm.. Andai saja mereka tahu bagaimana proses sebuah obat “ditemukan” hingga didistribusikan ke konsumen. Proses klaim “menyembuhkan” pada obat tidak bisa sembarangan lho. Begini kira-kira perjalanannya:

Perjalanan dimulai dengan penelitian eksplorasi tentang senyawa yang diklaim memiliki efek farmakologis untuk manusia. Setelah melalui uji kimia, senyawa tersebut lalu melewati uji pra klinis. Di uji pra klinis, obat akan dicobakan pada hewan. Jika dianggap aman, maka selanjutnya obat perlu melalui uji klinis, dimana obat akan diujikan ke manusia.

Mengapa Harus Uji Klinis?

Uji klinis digunakan untuk memastikan bahwa obat yang dipakai benar-benar baik dari segi keamanan, efektivitasnya, dan juga efek sampingnya. Nggak cuma sekali, dalam pengembangan obat baru, uji klinik wajib dilakukan beberapa kali untuk make sure everything’s okay, dengan plus-minus obat tersebut, plus seberapa efektif obat tersebut diberikan pada manusia dengan indikasi penyakit tertentu.

Perjalanan Obat: Dari Ikan ke Farmasi

Versi lain perjalanan “penemuan” obat juga dipaparkan dalam situs Food And Drug Administration (FDA, BPOM-nya Amerika). Salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Amerika adalah osteoporosis. Pada pasien dengan osteoporosis, tulang akan mengalami penurunan kepadatan, sehingga berpotensi tulang retak atau keropos. Kondisi ini dialami hampir 2 juta orang Amerika, dimana 80 persennya adalah perempuan, sehingga menghabiskan pengeluaran sekitar 13,8 milyar dolar setiap tahunnya, menurut National Osteoporosis Foundation.

Mengapa wanita beresiko terkena osteoporosis? karena hormon estrogen pada wanita punya peran besar dalam pembentukan tulang. Tulang wanita juga lebih ringan daripada pria.. Pada masa menopause, hormon estrogen pada wanita akan jauh berkurang. Resiko dan dampak osteoporosis membuat para ahli medis perlu memikirkan terapi alternatif, terutama jika terapi estrogen tidak dapat dilakukan (terapi estrogen adalah terapi utama bagi penderita osteoporosis saat ini).

Nah, penelitian membuktikan bahwa dalam tubuh ikan salmon terkandung hormon bernama kalsitonin, yang berfungsi mengatur kalsium dan menjaga kepadatan tulang. Bagi pasien osteoporisis, kalsitonin pada salmon sangat efektif menghambat aktivitas osteoklas (sel tulang) yang kerap menyerap jaringan tulang. Hal ini tentu dapat meningkatkan massa tulang, sehingga tulang akan menjadi lebih padat.

Dalam perkembangannya, FDA menyetujui kalsitonin salmon yang dikemas dalam produk inject (suntik). Kini, juga ada jenis obat semprot hidung dan akan ada pula obat minum yang sedang berada dalam tahap uji klinis. Meski begitu, pemberian kalsitonin salmon tidak sembarangan, tetapi hanya diperbolehkan pada wanita pasca menopause yang tidak dapat mentoleransi oksigen.

Nah, sekarang jangan asal percaya ya kalo ada klaim makanan/minuman/jamu/obat yang berlebihan. Masih nggak percaya juga? Ini ada pesan dari BPOM:

“Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386 Tahun 1994 tentang Pedoman Periklaman Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetik, dan PKRT lampiran 2, Obat Tradisional/Jamu untuk kanker tidak boleh diiklankan.”

Bagi yang masih percaya, resiko ditanggung penumpang. Btw, Panganpedia yang harusnya ngebahas pangan jadi malah mlipir ke kedokteran. –”
Yuk jadi konsumen yang cerdas!

Tinggalkan komentar