Panganpedia-FAO terbentuk pada 16 Oktober 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia setiap tahunnya. Sudahkah anda tahu? Ya, pangan adalah suatu kebutuhan mendasar semua mahluk untuk keberlangsungan hidupnya. PBB yang diwakili oleh FAO tentu saja menaruh perhatian yang sangat besar atas hal ini, karena pangan tidak hanya menyokong kehidupan juga kedaulatan suatu bangsa.
Pada tahun ini, tema Hari Pangan Sedunia adalah “Climate is Changing, Food and Agriculture must too”. Cukup menarik, namun juga membuat saya berpikir keras. Ketersediaan pangan yang sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Begitu kira-kira saya menterjemahkannya. Ini sangat masuk akal, mengingat perubahan iklim akan mempengaruhi pola bercocok tanam yang telah ada, yang mau tidak mau juga berimbas pada hasilnya serta ketersediaannya sebagai bahan konsumsi masyarakat.
Jika kita membicarakan tentang subjek yang paling terdampak, mungkin kita akan langsung berpikir pada petani. Namun sebenarnya, kita semua yang mengkonsumsi bahan pangan, jelas secara luas akan menerima dampak perubahan iklim. Mengapa saya bilang kita semua? Para petani jelas akan sangat merasakan dampaknya di lapangan, musim kemarau tetapi tiba-tiba hujan, atau malah sebaliknya kemarau panjang yang membuat gagal panen. Hasil pertanian yang dipanen tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi lokal, nasional ataupun bahkan dunia. Efek yang paling kita rasakan adalah kenaikan harga. Dan saya rasa kita semua sudah tahu bagaimana kelanjutan cerita dari efek perubahan iklim ini tentunya..
Jadi, boleh saja kan, saya berpendapat, jika perubahan iklim akan berdampak pada keberlangsungan hidup manusia?
Lalu kembali pada tema yang didengungkan pada Hari Pangan Sedunia tahun ini. Ada beberapa hal yang mengusik pemikiran saya seiring dengan tema tersebut. Yang pertama, apakah dengan terjadinya perubahan iklim, kita harus mengubah cara kita melihat makanan? Kemudian yang berkaitan dengan itu, apakah kita juga harus mengubah pola tanam tanaman pangan tertentu untuk menjaga ketersediaannya? Hal ini bisa sangat luas sekali jawabannya, menurut saya. Indonesia sendiri, pada beberapa tahun belakangan telah menggaungkan kedaulatan pangan dengan kembali pada sumber pangan lokal. Tentu saja program ini masih harus terus disosiaisasikan, karena memang kita tidak bisa mengahrapkan perubahan itu dapat dilihat hasilnya dalam sekejap mata. Selain itu, untuk mengatasi perubahan iklim yang ekstrim, saya yakin, para petani muda serta teknolog telah berupaya mengantisipasi hal ini dengan melibatkan teknologi. Seringkali kita saksikan di televisi, banyak penemuan yang berbasis teknologi telah mulai dicobakan dalam perbaikan sistem bercocok tanam, salah satunya irigasi. Hal ini membuktikan bahwa perubahan iklim telah begitu berdampak pada proses bercocok tanam dan perlu adanya upaya untuk memperkecil resiko kegagalan panen karenanya.
Yang kedua, “Climate is changing, Food and Agriculture must too”, saya geser pada kerangka teknologi pengolahan hasil pertanian. Industrialisasi memang telah banyak bisa mengcover kebutuhan pangan manusia, namun bukan berarti tidak ada dampak lain yang kita terima. Kalau kita bicara tentang makanan yang diproduksi secara masal, baik itu skala besar ataupun menengah, tentu tidak bisa kita lepaskan peran bahan pengemas. Umumnya, pengemas yang digunakan berbahan plastik dan turunannya. Kepraktisan serta production cost seringkali menjadi alasan mengapa plastik menjadi primadona. Padahal kita tahu, bagaimana plastik seringkali menjadi cemaran lingkungan yang pada ujungnya juga menyumbang peran besar dalam perubahan iklim.
Apakah hanya plastik? Kenyataannya tidak. Dalam suatu proses produksi, tentu saja limbah tak ketinggalan. Hanya saja, dapatkah kita pastikan bahwa limbah tersebut tidak punya andil mencemari lingkungan? Namun yang pasti, kemasan dan limbah, itu hanya sedikit dari aspek industrialisasi yang secara tidak sadar juga memiliki peran dalam perubahan iklim. Dalam hemat saya, terbersit pikiran, mungkin saja, FAO mengajak para pelaku industri makanan, untuk menggunakan material yang ramah lingkungan, sehingga perubahan iklim yang terjadi tak semakin parah, petani bisa bercocok tanam dengan tenang, ketersediaan pangan terjamin. Mungkin saja.
Yang ketiga, yang mungkin saya doakan dalam hati semoga bukan yang ini, adalah tentang rekayasa genetika. Perubahan iklim, membuat hasil cocok tanam menjadi tidak pasti. Kestabilan bahan pangan akan sangat terpengaruh. Jalan terakhir adalah rekayasa genetika. Dengan merekayasa sifat tertentu pada suatu tanaman, mungkin yang tadinya hanya bisa dipanen pada musim tertentu, bisa dipetik hasilnya sepanjang waktu tiap tahunnya. Dengan begitu, kekhawatiran akan kurangnya stok bahan pangan akan dapat dihindari. Namun, apakah itu perubahan yang diinginkan? Apakah akan jadi solusi terbaik? Saya kembalikan pertanyaan ini pada pribadi masing-masing.
Sebenarnya, masing-masing dari diri kita memiliki peran untuk perubahan. Tidak perlu jauh-jauh, mengurangi pemakaian plastik sekali pakai dan menggantinya dengan yang reuse-able atau sekedar mengambil makanan dengan jumlah yang mampu kita makan sehingga mengurangi sampah sisa makanan bisa menjadi salah satu caranya. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk. Hanya saja, mampukah kita untuk konsisten melakukan hal itu?
Yuk, mari kita mulai perubahan itu dari diri kita sendiri. Selamatkan bumi, selamatkan lahan, selamatkan pangan…, dan Selamat Hari Pangan Sedunia.. 🙂